Sabtu, Oktober 10, 2015 | Oktober 10, 2015 | 0 Lovers
dakwatuna.com – “Dan Apabila hamba-hambaKu bertanya kepadamu (Muhammad)
tentang Aku, maka katakanlah sesungguhnya Aku dekat. Aku mengabulkan doa orang
yang memohon apabila ia memohon kepadaKu. Maka hendaklah mereka memenuhi
(panggilan/perintah)Ku, dan beriman kepadaKu agar mereka mendapat petunjuk
(bimbingan)”. (Al-Baqarah: 186)
Ayat ini meskipun tidak berbicara tentang Ramadhan seperti pada tiga
ayat sebelumnya (Al-Baqarah: 183-185) dan satu ayat sesudahnya (Al-Baqarah:
187),
namun keterkaitannya dengan Ramadhan tetap ada. Jika tidak, maka ayat ini
tidak akan berada dalam rangkaian ayat-ayat puasa seperti dalam susunan mushaf.
Karena setiap ayat Al-Qur’an menurut Imam Al-Biqa’I merupakan satu kesatuan
(wahdatul ayat) yang memiliki korelasi antar satu ayat dengan yang lainnya,
baik dengan ayat sebelumnya atau sesudahnya. Disinilah salah satu bukti
kemu’jizatan Al-Qur’an.
Kedekatan Allah dengan hambaNya yang dinyatakan oleh ayat di atas lebih
khusus daripada kedekatan yang dinyatakan dalam surah Qaaf ayat 16: “Dan Kami
lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya” yang bersifat umum. Kedekatan
Allah dengan hambaNya dalam ayat di atas merupakan kedekatan yang sinergis,
kedekatan yang aplikatif, tidak kedekatan yang hampa dan kosong, karena
kedekatan ini terkait erat dengan doa dan amal shalih yang berhasil ditunjukkan
oleh seorang hamba di bulan Ramadhan, sehingga merupakan motifasi terbesar yang
memperkuat semangat ber Ramadhan dengan baik dan totalitas.
Dalam konteks ini, korelasi ayat doa dan kedekatan Allah yang khusus
dengan hambaNya dengan ayat-ayat puasa (Ayatush Shiyam) paling tidak dapat
dilihat dari empat hal berikut ini: Pertama, Salah satu dari pemaknaan Ramadhan
sebagai Syahrun Mubarok yang menjanjikan beragam kebaikan adalah Syahrud Du’a
dalam arti bulan berdoa atau lebih jelas lagi bulan dikabulkannya doa seperti
yang diisyaratkan oleh ayat ini.
Karenanya Rasulullah saw sendiri menjamin
dalam sabdanya: “ Bagi orang yang berpuasa doa yang tidak akan ditolak oleh
Allah swt.” (HR. Ibnu Majah). Kondusifitas ruhiyah seorang hamba di bulan
Ramadhan yang mencapai puncaknya merupakan barometer kedekatannya dengan Allah
yang juga berarti jaminan dikabukannya setiap permohonan dengan modal kedekatan
tersebut. Dalam kitab Al-Ma’arif
As-Saniyyah Ibnu Qayyim menuturkan: “Jika terhimpun dalam doa seseorang
kehadiran dan keskhusyuan hati, perasaan dan kondisi kejiwaan yang tunduk patuh
serta ketepatan waktu yang mustajab, maka tidaklah sekali-kali doanya ditolak
oleh Allah swt. Padahal di bulan Ramadhanlah kondisi dan situasi ‘ruhiyah’ yang
terbaik hadir bersama dengan keta’atan dan kepatuhannya dengan perintah Allah
swt.
Kedua, Ungkapan lembut Allah “ Sesungguhnya Aku dekat” merupakan
komitmen Allah untuk senantiasa dekat dengan hambaNya, kapanpun dan dimanapun
mereka berada. Namun kedekatan Allah
dengan hambaNya lebih terasa di bulan yang penuh dengan keberkahan ini dengan
indikasi yang menonjol bahwa hambaNya juga melakukan pendekatan yang lebih
intens dengan berbagai amal keshalihan yang mendekatkan diri mereka lebih dekat
lagi dengan Rabbnya
. Padahal dalam sebuah hadits qudsi Allah memberikan
jaminan: “Tidaklah hambaKu mendekat kepadaku sejengkal melainkan Aku akan
mendekat kepadanya sehasta. Tidaklah hambaKu mendekat kepadaKu dengan berjalan
melainkan Aku akan mendekat kepadanya dengan berlari dan sebagainya”.
(Muttafaqun Alaih)
Ketiga, Istijabah (falyastajibu li) yang dimaknai dengan kesiapan hamba
Allah untuk menyahut dan melaksanakan setiap panggilanNya merupakan media
dikabulkannya doa seseorang. Hal ini pernah dicontohkan dalam sebuah hadits
Rasulullah saw yang menceritakan tiga orang yang terperangkap di dalam gua.
Masing-masing dari ketiga orang tersebut menyebutkan amal shalih yang mereka
lakukan sebagai media dan wasilah mereka berdoa kepada Allah. Dan ternyata
Allah swt serta merta memenuhi permohonan masing-masing dari ketiga orang itu
dengan ‘jaminan amal shalih yang mereka lakukan’. Padahal bulan Ramadhan adalah bulan hadirnya
segala kebaikan dan berbagai jenis amal ibadah yang tidak hadir di bulan yang
lain; dari ibadah puasa, tilawah Al-Qur’an, Qiyamul Lail, Zakat, infaq, Ifthorus
Shoim dan beragama ibadah lainnya. Kesemuanya merupakan rangkaian yang sangat
erat kaitannya dengan pengabulan doa seseorang di hadapan Allah swt. Dalam hal ini, Abu Dzar menyatakan: “Cukup
doa yang sedikit jika dibarengi dengan kebaikan dan keta’atan seperti halnya
garam yang sedikit cukup untuk kelezatan makanan”.
Keempat, Kata ‘la’alla secara bahasa menurut pengarang Tafsir Al-Kasyaf
berasal dari kata ‘alla’ yang kemudian ditambah dengan lam di awal yang berarti
‘tarajji’ merupakan sebuah harapan yang langsung dari Zat Yang Maha memenuhi
segala harapan. Logikanya, jika ada harapan maka ada semangat, apalagi yang
berharap adalah Allah swt terhadap hambaNya sehingga tidak mungkin hambaNya
menghampakan harapan Tuhan mereka. Karenanya rangkaian ayat-ayat puasa diawali
dengan khitab untuk orang-orang yang beriman: “hai orang-orang yang beriman”.
Dalam konteks ini, setiap hamba yang selalu mendekatkan diri dengan Allah tentu
besar harapannya agar senantiasa mendapat bimbingan dan petunjuk Allah swt. Demikian
redaksi ‘La’alla’ yang selalu mengakhiri ayat-ayat puasa termasuk ayat doa ini,
menjadi korelasi tersendiri dalam bentuk keseragaman dengan ayat-ayat puasa
sebelum dan sesudahnya ‘La’allakum Tattaqun, La’allakum Tasykurun, La’allahum
Yarsyudun, dan La’allahum Yattaqun’.
Redaktur: Ardne
Label: ayat2 cinta, cinta pertama
0 Ulasan posted :